Selasa, 01 September 2009

[resensi buku] Ketika Malaikat Menggugat Kemapanan Berpikir Manusia...

Meicky Shoreamanis Panggabean, Kompas.com, 27 Agustus 2009

"Kebanyakan orang dewasa sering kali menjadi amat terbiasa dengan dunia sehingga mereka menganggap seluruh alam semesta ini biasa-biasa saja. Kalau kau merenungkannya, hal itu  cukup lucu karena mereka hanya ada di dunia ini untuk kunjungan singkat saja" (hal. 44).

Jostein Gaarder memang kerap menggugat kecenderungan orang dewasa yang menyerap banyak hal tanpa banyak tanya dan karenanya gagal untuk menghirup kehidupan hingga ke sarinya. Dalam novel Dunia Sohie,  gugatan ia lancarkan melalui Sophie. Dalam buku ini Cecilia,  gadis yang sedang sakit dan hanya bisa berbaring seharian, serta malaikat penghiburnya yang bernama Ariel, menjadi penyambung lidah Gaarder untuk menggugat kemapanan berpikir manusia. 

Dengan jenial, Gaarder mengulas  berbagai gagasan  unik  dalam dialog kritis  namun ringan  yang sangat thought-provoking. Pilihan kata yang sederhana dan gaya penulisan yang santai berbanding terbalik dengan pemikiran-pemikiran besar dan mendasar yang tersimpan rapi di dalamnya. 

Malaikat Ariel hadir sebagai sosok jahil, botak tanpa sayap yang gemar ngobrol dengan  malaikat-malaikat lain di surga tentang manusia berikut keanehannya. Ia pernah  iseng  pergi ke  bulan untuk memata-matai Neil Armstrong.  Ariel  membuat Cecilia berpikir ulang mengenai  berbagai hal yang dengan nyaman telah menghuni pikirannya selama belasan tahun."Saat manusia mendarat di bulan, itu menjadi lelucon di kalangan malaikat.   Banyak sekali dari kami yang hadir  di bulan saat itu namun mereka begitu bangga karena menganggap  merekalah yang pertama kali mengunjungi bulan", ujar Ariel (hal.160)

Ketika Cecilia bercerita bahwa gurunya berpendapat masa kanak-kanak adalah tahapan menuju kedewasaan, Ariel menyergah dengan cepat,"Justru masa dewasalah yang  merupakan tahapan menuju lahirnya anak-anak baru". (hal.38). Saat Cecilia mengatakan bahwa Adam dan Hawa adalah orang dewasa, Ariel pun dengan serta-merta mengoreksi kalimat tersebut. "Mereka tumbuh dewasa", sanggahnya. "Ketika Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, mereka adalah anak-anak kecil yang dipenuhi rasa ingin tahu…Tak ada gunanya membikin taman luas kalau tidak ada anak-anak yang bermain di dalamnya" (hal.39).
 
Selama membaca buku ini, kita akan terpesona dengan kedalaman berpikir dan ketinggian imajinasi Gaarder. Ariel yang begitu kebingungan dengan berbagai  aspek kehidupan manusia banyak mengajukan pertanyaan yang membutuhkan  kecerdasan  tersendiri sebelum menjawabnya. "Malaikat hanya bisa merasakan kata-kata", ujar Ariel."Apa rasanya enak?" Tanyanya (hal.70). "Rada aneh juga, sih", hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cecil. Ketika Cecil melontarkan keheranannya akan ketidakmampuan malaikat untuk merasakan sesuatu, dengan cerdik Ariel menyahut,"Tapi pikiranmu tidak bisa merasakan apa yang dipikirkannya, tidak seperti kau bisa merasakan bola salju di tanganmu" (hal.85).

Adapun kehadiran Ariel  di kamar Cecil yang tak bisa diindrai manusia dianalogikan  sebagai kehadiran tubuh kita di  pantai dalam sebuah mimpi."Apakah kau akan mengatakan bahwa dalam mimpimu, kau berada-dalam makna tertentu-di  pantai itu?" (hal.123), begitulah Ariel bertanya yang diiyakan tanpa ragu  oleh Cecilia.   Dialog tentang mimpi akhirnya ditutup Ariel dengan uraian mendalam sekaligus menarik.


" ..Saat manusia bermimpi, kalian menjadi aktor sekaligus penonton…Idealnya, kau seharusnya punya kemampuan menghentikan sebuah mimpi jika kau tak menyukainya. Seharusnya ada pintu darurat di dalam bioskop tapi karena bioskop itu adalah jiwamu sendiri-yang memutuskan film apa yang diputar-itu menjadi mustahil karena kau tak bisa lari dari jiwamu sendiri" (hal 140).

Dialog bernas seperti di atas memang amat mungkin ditemukan dalam cerita yang mengambil malaikat sebagai salah satu karakter.  Sebagai mahkluk yang berlainan dunia dengan manusia, malaikat  memang berpotensi dijadikan sumber kutipan cerdas  atas dasar asumsi bahwa cara ia menalar dan merasa pastilah amat berbeda dengan manusia. Film 'Touched by an Angel' yang diputar DAAI  TV adalah salah satu produk  sarat nilai yang menggunakan malaikat sebagai pemeran utama. Arswendo Atmowiloto juga pernah menjadikan malaikat sebagai tokoh sentral dalam novelnya yang berjudul 'Kau Memanggilku Malaikat'.

Membaca buku ini akan (semakin) memampukan  kita untuk melihat banyak hal  biasa dengan cara pandang yang sungguh tidak biasa karena,"Sebagian malaikat percaya bahwa setiap mata yang memandang ciptaan Tuhan adalah mata Tuhan sendiri" (hal.100). Kalimat cerdas bertebaran di berbagai halaman, berebutan untuk memberikan kita pemikiran baru tentang kehidupan.

Alam semesta dan kehidupan di dalamnya telah lama dimaknai sebagai sekumpulan  teka-teki akbar. Dan  dengan bantuan Ariel serta Cecil, nampaknya Gaarder  berhasil memecahkan lebih banyak teka-teki daripada yang dilakukan manusia jika berusaha seorang diri.

---
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis 'Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-sisi Personal Munir' (Mizan, 2008).



www.mediabuku.com

0 komentar: