Juhua tinggal bersama ketiga anaknya yang dengan seluruh upaya berusaha ia sekolahkan. Bagaimanapun, kemiskinan yang mencengkeram membuat Juhua terpaksa mengeluarkan Ma Yan dari sekolah. Ma Yan lantas melancarkan protes "Jadi, anak laki-laki boleh terus bersekolah dan aku bekerja?" begitu ia menggugat. "Begitulah", sahut sang Ibu (Hal.130).
Keputusan Juhua sebenarnya mudah dipahami karena perempuan memang warga negara kelas dua di negerinya. Bagaimanapun, Junhua tersentuh dengan antusiasme Ma Yan untuk tetap sekolah dan sebagai seorang ibu, ia pun melakukan semua yang mungkin dan mencoba apa yang terlihat mustahil untuk mewujudkan cita-cita anaknya. Ada pun Ma Yan yang tumbuh sebagai figur pantang menyerah, terus belajar di tengah-tengah kelaparan yang kerap melilit perutnya. Tak hanya memeras keringat, kedua perempuan ini pun tak putus mendaraskan doa-doa kepada Tuhan dengan iman dan air mata.
Lantas, apa hasil dari seluruh tetesan keringat dan air mata mereka yang nampaknya membasahi telinga Tuhan hingga basah kuyup? Hasilnya adalah sebuah cerita penggugah semangat yang dimuat media Perancis, diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dalam waktu kurang dari 4 tahun dan berhasil mendorong sebuah lembaga untuk memberikan bea siswa kepada Ma Yan dan sekitar 250 temannya dari desa yang sama.
***
Kisah perempuan kelahiran 6 Maret 1988 ini sekarang hadir dalam bentuk novel yang benar-benar menguras emosi. Karena menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, Ma Yan bertekad untuk terus sekolah, apapun taruhannya. Ia bahkan rela kelaparan selama dua minggu agar bisa membeli sebuah pena yang akan membantu kelancarannya dalam belajar. Pena ini jugalah kelak yang akan ia gunakan untuk mengisi buku hariannya, benih dari buku laris Diary of Ma Yan yang pertama kali terbit di London pada tahun 2005.
Catatan harian ini membuka mata dunia mengenai apa yang terjadi pada diri Ma Yan. "Akan kubawa keluargaku menjauh sejauh-jauhnya dari takdir kemiskinan", demikian ia menuliskan tekadnya (hal.162). Komitmen ini membuatnya rela berjalan kaki, atau kadang-kadang menumpang traktor dengan membayar satu yuan, ke sekolah yang berjarak 5 jam dari rumah dengan resiko bertemu ular atau perampok. Ia pun tak keberatan tinggal di asrama dengan menu sehari-hari satu potong roti agak keras serta nasi yang hanya dibumbui dengan sedikit sayur kubis.
Dari catatan ini pula dunia tahu tentang betapa dahsyatnya upaya yang dilakukan Juhua agar Ma Yan tak bernasib seperti anak perempuan lainnya:Miskin, bodoh lalu menikah dan tetap menjadi miskin serta bodoh. Hidup denga rasa perih yang amat menyakitkan karena sebagai ibu ia hanya mampu memberi makan anaknya dua kali sehari, Juhua bertekad untuk mematahkan kemiskinan yang telah turun-temurun melingkari keluarganya. Ia bahkan rela menjadi pemanen fa cai, tumbuhan yang biasa dikonsumsi dalam bentuk salad atau sop, di Mongolia Dalam demi beberapa puluh yuan untuk membayar uang sekolah Ma Yan:Menumpang traktor sejauh 400 kilometer, diterpa pasir dan angin, berangkat memanen jam setengah enam pagi dan membungkuk hingga jam tujuh malam untuk menebas fa cai dan tidur beratapkan bintang, tak perduli betapapun dinginnya udara ketika itu.
Kerja keras ibu dan anak ini digulirkan Sanie B. Kuncoro dari sudut pandang Juhua dan Ma Yan sekaligus, sebuah cara penulisan yang membuat keterlibatan emosi pembaca menjadi lebih dalam. Bagaimana tidak, penerapan dua sudut pandang semacam ini memberi gambaran yang lebih utuh tentang peristiwa yang baru saja terjadi dan secara otomatis, melahirkan intensitas emosi yang lebih kuat di hati pembaca.
Perasaan kita akan dibuat haru biru oleh uraian Junhua yang merasa gagal sebagi ibu karena ia merasa terus-menerus memberikan kepahitan hidup kepada anak-anaknya (hal.115-126). Kita juga 'dipaksa' untuk kembali mengingat cinta dan jasa orang tua, terutama ibunda, saat membaca curahan hati Ma Yan tentang Junhua: Ibu yang menyembunyikan rasa sakit dan letih agar anaknya bisa belajar dengan tenang (hal.88), ibu yang memberikan seluruh makanan yang ada untuk anaknya dan membiarkan dirinya kelaparan dan kehausan hingga bibirnya kering (hal.94).
Kasih ibu bagaikan mentari yang membuat rumput bertumbuh namun tak menerima apapun sebagi balasan, begitu makna yang tersirat dari 'Yai Zi Yin' atau 'Traveler's Recite', sebuah puisi indah karya Meng Jiao yang hidup di era Dinasti Tang. Keindahan serupa dengan mudah bisa kita jumpai dalam novel ini mengingat Sanie memang penulis senior yang kerap menulis dengan gaya puitis serta melankolis.
Sayangnya, dalam novel ini cerita mengalir begitu saja tanpa ada pendahuluan atau penutupan apa pun. Hal ini tak menjadi masalah jika saja cerita semata-mata adalah hasil imajinasi si pengarang namun kenyataannya novel ini diangkat dari kisah yang benar-benar terjadi. Tentu akan jauh lebih baik jika pembaca diberi beberapa keterangan sehubungan dengan tokoh yang asli seperti yang bisa kita temukan dalam cerita The Life of Pi karya Yann Mattel yang sudah diterbitkan juga dalam Bahasa Indonesia.
Novel The Life of Pi, yang juga ditulis berdasarkan kisah nyata, dibuka dengan penjabaran tentang awal-mula proses penulisan buku dan ditutup dengan penjelasan tentang bagaimana nasib Pi selanjutnya. Mengingat Ma Yan masih hidup dan masih amat muda, wajar jika pembaca ingin tahu apa yang terjadi setelah catatan hariannya dipublikasikan.
Lepas dari kekurangan di atas yang kelak bisa dengan mudah ditutup saat buku dicetak ulang, novel ini sungguh adalah sebuah santapan yang menghangatkan jiwa. Seperti halnya Laskar Pelangi, yang bukan hanya judul nove dan film melainkan juga nama dari lini yang mendukung penerbitan buku ini, catatan Ma Yan bisa menggiring kita untuk kembali merenung tentang signifikansi pendidikan, pentingnya bermimpi dan sikap pantang mundur, isu kemiskinan dan ketidakadilan serta, ah tentu saja, kasih ibu yang kelembutannya melebihi kulit bayi.
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis 'Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-sisi Personal Munir' (Mizan, 2008).
www.mediabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar